Memang, di masa globalisasi ini
perkawinan campuran merupakan suatu hal yang sangat umum. Namun kehidupan
perkawinan campuran tidak semuanya berakhir dengan kebahagiaan, ada kalanya
perkawinan harus berakhir dengan perceraian. Perceraian pada pernikahan
campuran membawa masalah yang berkepanjangan terutama sengketa hak asuh anak
dan harta bersama.
Sebelum terbitnya UU No. 12 tahun 2006, perkawinan campuran.Indonesia berpedoman pada UU Kewarganegaraan No 62 tahun 1958. Undang-undang ini menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, pewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Setiap tahunnya bila keluarga perkawinan campuran itu tinggal di Indonesia, anak-anak yang dilahirkan harus terus-menerus berurusan dengan pihak imigrasi. Tiap tahunnya, mereka harus memperpanjang KITAS. Rumitnya masalah keimigrasian untuk anak yang lahir dari perkawinan campuran ini sama ruwetnya pada saat orang tua mereka harus mengurus perceraian. Penentuan hak asuh anak ada di pengadilan agama/ pengadilan negeri. Bila ibu memenangkan hak asuh, sang Ibu tak bisa langsung berlega hati. Masih ada upaya dari ayah WNA untuk naik banding kasasi ke tingkat pengadilan lebih tinggi. Sebab, secara finansial ayah WNA lebih mampu untuk menggunakan jasa pengacara, bahkan menculik sang anak. Menurut Ika Twigley, satu pendiri dan penggerak KPC Melati (Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu) di dalam artikel Republika.com, keberadaan anak cukup berarti bagi para pria WNA, karena bisa mendapatkan tax reduction (pengurangan pajak) dan social welfare (jaminan sosial). Begitu sang ayah pulang ke negerinya, maka anak pun harus ikut. Lalu, bila anak dalam asuhan ibu, dan ayah masih diwajibkan menanggung biayanya? Yang jelas, di Indonesia tidak ada lembaga penegak hukum yang bertujuan untuk mengawasi penentuan kewajiban ayah WNA di negerinya dalam memberikan biaya pemeliharaan bagi anak-anaknya yang tinggal di Indonesia.
Pada
tahun 2006 lalu terbit UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia.
Sesuai UU Kewarganegaraan 2006, anak-anak yang lahir setelah Agustus 2006,
otomatis mendapatkan kewarganegaraan ganda. Setelah usia 18 dengan masa
tenggang hingga tiga tahun, barulah si anak diharuskan memilh kewarganegaraan
yang mana yang akan dipilihnya. Jika terjadi perceraian maka ibu dapat
mengajukan permohonan kewarganegaraan anak dengan berdasarkan pada ketentuan
Pasal 29 ayat (3) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bahwa negara
Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk
perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
Adapun kutipan Pasal 29 UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:
(1) Jika terjadi
perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari
ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal
terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak
berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalama
pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.
(3) Dalam hal
terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak belum
mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi
kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban
mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.
Apabila
ternyata terjadi perceraian dalam perkawinan campur yang berbeda
kewarganegaraan, maka anak memiliki hak untuk memilih pengasuhan orangtua. Demi
hukumnya maka anak yang masih di bawah umur otomatis akan mengikuti ibu
dan mendapat kewarganegaraan Indonesia. Namun jika anak lahir sebelum terbitnya
UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, maka anak tersebut harus
dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat
kewarganegaraan Indonesia. Ada baiknya pada saat mengambil keputusan bercerai,
pasangan yang akan bercerai membuat kesepakatan baik mengenai harta bersama
setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak
dan masing-masing pihak. Sehingga ke depannya tidak menimbulkan masalah pada
akibat hukum yang ditimbulkannya.
Referensi:
UU No. 12 tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar